Selamat datang di bagian kedua dari seri liburan antimainstream di Bali. Gimana dengan empat aktivitas di bagian pertama? Seru? Apa kurang? Kalo masih ngerasa kurang, nih liat sisanya di sini. Dijamin liburan kamu di Bali bakal beda banget, Sob!
Menghormati Anak Agung Pandji Tisna
Tapi, yang nggak banyak justru mereka yang tau siapa Anak Agung Pandji Tisna. Beliau adalah orang yang berjasa membangun pariwisata di pantai itu. Pandji Tisna bahkan termasuk pionir pengembangan pariwisata di Bali, Sob! Tahun 2003 lalu, Pemda Bali menganugerahkan penghargaan Karya Karana pada beliau—secara anumerta tentunya, karena yang diberi penghargaan sudah meninggal tahun 1978.
Jadi, ceritanya "Lovina" adalah nama guesthouse milik Pandji Tisna di Desa Kaliasem (dulu: Desa Tukad Cebol). Di cottage itu, selain menerima tamu, Pandji Tisna yang juga seorang novelis ini melakukan hobi menulisnya. Tempat ini kayaknya lama-lama terkenal, Sob, karena Pandji Tisna akhirnya mendirikan tempat-tempat penginapan lain di sekitarnya, hingga akhirnya daerah situ dikenal dengan nama Pantai Lovina.
Omong-omong, kamu tau arti nama "Lovina"? Menurut beberapa sumber, Lovina adalah singkatan dari "Love Indonesia", Sob. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa "Ina" di situ bukan bermakna "Indonesia", karena INA yang dipakai sebagai singkatan kontingen Indonesia di dunia olahraga baru ada waktu SEA Games 1963 (guesthouse Pandji Tisna dibangun tahun 1953).
Untuk menghormati Pandji Tisna, kamu bisa dateng ke makamnya, Sob. Kalo ada di daerah Pantai Lovina, kamu tinggal cari jalan A. A. P. Tisna, jalan sejauh kira-kira 2 kilometer, sampe deh.
Belajar sejarah di Gilimanuk
Nah, lain kali, kalo kamu berencana jalan-jalan di Bali lewat Gilimanuk, jangan buru-buru dilewatin tuh. Coba mampir ke Museum Situs Purbakala, Sob. Di sana ada banyak koleksi rangka manusia purba dan artefak dari jaman prasejarah, yang diyakini berusia sekitar 3.000 sampai 4.000 tahun.
Tahun 1962 silam, dilakukan ekskavasi (penggalian benda purbakala) besar-besaran di daerah Cekik, Gilimanuk. Penggalian ini menemukan lokasi penguburan seluas 15 hektar. Angka segitu sama dengan lebih dari 20 kali luas lapangan bola, Sob! Temuan lainnya adalah sarkofagus (peti mayat jaman purba) yang jumlahnya nggak kira-kira, termasuk lebih dari 100 kerangka manusia utuh. Museum Situs Purbakala sendiri cuma menempati setengah lokasi ekskavasi 1962 itu, Sob.
Gimana caranya ke sana? Dari terminal feri, kamu ikutin aja jalan ke arah timur, terus jalan lurus sekitar 500 meter ke arah Denpasar. Museum ini buka dari Senin sampai Jumat jam 8.00 sampai 16.00, dengan harga tiket cuma 6.000 perak!
Main ke Tenganan, kampung asli Bali
Itu adalah gambaran ritual Geret, atau dikenal dengan nama Perang Pandan atau mekare-kare. Iya Sob, adegan gores-goresan itu adalah bagian dari sebuah ritual pemujaan yang dilakukan masyarakat Bali Aga kepada dewa Indra. Jelas bukan lagi ribut.
Kamu bisa menyaksikan ritual Geret di Desa Tengenan, yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari Candi Dasa. Di desa inilah tinggal suku Bali Aga. Masyarakat Bali Aga dikenal sebagai penduduk asli Bali.
Sebelum tahun 1970-an, suku Bali Aga dianggap sebagai salah satu masyarakat paling tertutup di Indonesia. Tapi semua berubah ketika negara api, eh pemerintah meningkatkan akses komunikasi di Desa Tenganan, tempat tinggal mereka. Karena itu, kini Desa Tenganan bisa dijadikan obyek wisata dan kamu bisa nonton Perang Pandan. Sebelum 1970-an juga, masyarakat Bali Aga juga dikenal memberlakukan perkawinan endogami (satu suku), Sob,
Nonton mayat membusuk di Trunyan
Judulnya serem ya, Sob.
MCi nggak mengada-ada. Kamu emang bisa ngeliat mayat membusuk di Desa Trunyan, yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Di desa ini, upacara kematiannya bukan dengan Ngaben, tapi dibiarin gitu aja di tanah.
Nggak dibiarin gitu aja banget sih Sob. Seperti yang kamu liat di gambar, mayat ditutupin pake anyaman bambu. Tapi udah itu aja. Mayat nggak diperlakuin kayak gimana-gimana. Pertanyaannya: bukannya bau ya? Nah itu kerennya desa ini. Kamu nggak akan nyium bau anyir selayaknya yang dihasilkan oleh mayat "biasa". Malahan, mayat-mayat tadi akan ngeluarin aroma yang wangi!
Sekali lagi, MCi nggak mengada-ada. Mayat-mayat di Trunyan konon menjadi wangi karena adanya pohon Taru Menyan, yang juga asal nama desa itu. Aroma yang dihasilkan pohon ini diyakini menetralisir bau mayat di tanah. Menurut legenda, wangi Taru Menyan membuat raja Trunyan di jaman dulu panik takut diserang. Untuk menutupi wangi itu, dia memerintahkan warganya buat menggelimpangkan mayat begitu saja. Usaha sang raja mungkin berhasil mungkin nggak, tapi yang jelas "warisan"nya bertahan hingga kini.
Kalo kamu mau ngunjungin kuburan Trunyan, kamu harus nyebrang dulu lewat Dermaga Kedisan di Danau Batur. Sekali jalan, waktu tempuhnya sekitar 30 menit. Pake kapal ya Sob (bayar, sekitar Rp 100 ribu), jangan berenang!
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon